Prosedur Pencatatan Nikah di KUA
Bagi anda yang akan melangsungkan pernikahan, agar pernikahan anda tercatat secara legal di Kantor Urusan Agama (KUA) ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan prosedur yang harus dilalui:
Dasar hukum:
1. UU no. 22 tahun 1946 tentang Pencatatn Nikah, Talak, dan Rujuk (NTCR)
2. UU no. 32 tahun 1954 tentang berlakuknya UU no. 22 tahun 1946
3. UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
4. UU no. 9 tahun 1975 tentang berlakunya UU no. 1 tahun 1974
5. UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
6. Peraturan menteri Agama (PMA) no. 1 tahun 1976 tentang Penunjukan Pegawai untuk Mengangkat dan memberhantikan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) serta menetapkan Wilayahnya.
7. PMA no. 2 tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
8. Dll.
Yang harus dipersiapkan
1. Photo copy Kartu Tanda Penduduk
2. Photo copy Kartu Keluarga
3. Pas Photo ukuran 2x3 : 2 lembar dan 3x4 : 3 lembar atau sesuai kebutuhan (ketentuan di masing-masing daerah berbeda)
4. Biodata calon mempelai ybs
5. Biodata orang tua calon mempelai
6. Akta cerai bagi yang berstatus duda / janda karena perceraian.
7. Surat Ijin Nikah (bagi anggota TNI / Polri)
8. Beberapa KUA di daerah tertentu ada yang menambahkan persyaratan administrasi lainnya seperti poto copy Akta Lahir, poto copy Ijazah terakhir dll.
Langkah-langkah yang harus ditempuh:
1. Meminta surat pengantar kepada ketua RT dan ketua RW.
2. Mendatangi Kantor Kepala Desa / Kelurahan untuk membuat model N1 (Surat Keterangan untuk Nikah), N2 (Surat Keterangan tentang Orang Tua) dan N4 (Surat Keterangan Asal-usul).
Bagi yang berstatus duda/janda karena ditinggal mati isteri/suami ditambah dengan model N6 (Surat Keterangan Kematian Suami / Isteri).
Untuk daerah tertentu yang masih mempertahankan jasa Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N), anda bisa meminta bantuannya untuk mengantar dan membantu proses pendaftaran hingga pelaksanaan pencatatan nikah.
3. Menghadap ke Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang membawahi tempat tinggal calon mempelai.
Bagi Calon Suami:
Bila calon suami bertempat tinggal dalam satu kecamatan yang sama dengan calon isteri, maka proses di atas sudah cukup.
Apabila Calon suami berbeda Kecamatan dengan calon isteri, maka calon suami terlebih dahulu mendatangi Kantor Urusan Agama yang membawahi wilayah tempat tinggalnya untuk meminta surat pengantar (Pemberitahuan Kehendak Nikah) dari KUA setempat untuk kemudian diserahkan kepada KUA yang akan melakukan pencatatan nikah.
Prosedur Nikah
Mau Nikah..??? Ayo Daftarkan dan catatkan pernikahan di Kantor Urusan Agama yang sering di sebut “KUA” Kenapa mesti di KUA? Ya,,Karena pernikahan yang didaftarkan dan dicatat di KUA mendapat perlindungan secara hukum dan yang paling penting, dapat diselenggarakan dengan biaya yang murah loh..
Nih kalau Menurut UU No. 22 Tahun 1946 jo No. 32 Tahun 1954, “pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut aturan Islam di wilayahnya adalah Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang diangkat oleh Menteri Agama pada tiap-tiap KUA Kecamatan”.
Untuk tahap persiapan menjelang pernikahan, Persyaratannya gak susah kox, calon pengantin (Catin) harus mempersiapkan yang seperti ini aja kox….
1. Memastikan dulu ada izin dari masing-masing orangtua kedua mempelai, untuk memenuhi surat-surat persetujuan atau izin dari orang tua kedua mempelai.
2. Harus memastikan tidak adanya hal-hal yang dapat membatalkan akad pernikahan menurut tata aturan fiqih munakahat, dan hukum positip yang berlaku.
3. Calon pengantin harus mengetahui dan mempelajari segala hal yang berkaitan dengan rumah tangga/keluarga, ya,, seperti hak dan kewajiban suami istri, manajemen dalam keluarga, dan sebagainya.
4. Nah ini yang paling penting calon pengantin harus tau berbagai hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, misalkan diberikan imunisasi tetanus toxoid bagi calon mempelai perempuan.
Tahap-tahap persiapan ini, merupakan tahap awal calon mempelai dan keluarga yang akan di bangun, agar tidak terjadi berbagai dilema keluarga, baik secara hukum maupun kepentingan harmonisasi keluarga.
Oh Yaa,,, ada lagie nie point-point yang mesti di simak bagi pendaftar Calon Pengantin…
Pemberitahuan Kehendak Nikah
Setelah langkah-langkah yang dah di jelasin di awal yang dilakukan secara matang,, maka orang yang hendak menikah memberitahukan kehendaknya kepada PPN yang mewakili wilayah tempat yang akan dilangsungkannya akad nikah sekurang-kurangnya 10 hari sebelum akad nikah dilangsungkan ,, tentunya pas hari kerja donk,, karna percuma kalau datang di hari sabtu ama minggu ¤¤
Pemberitahuan Kehendak Nikah, nah untuk yang ini di tulis ama Calon Pengantin tentunya berisi data-data Calon Penganting,, iaa seperti nama kedua calon mempelai, hari dan tanggal pelaksanaan akad nikah, data mahar/maskawin dan tempat pelaksanaan upacara akad nikah (di Balai Nikah/Kantor atau di rumah calon mempelai, masjid gedung dll) sama wali (orang tua) yang mau nikahin Calon Pengantinya, adapun surat-surat yang diperlukan, seperti ini:
I. Perkawinan Sesama WNI persyaratannya seperti ini:
- Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon Pengantin (Catin) masing-masing 1 (satu) lembar.
- Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas segel/materai bernilai minimal Rp.6000,- (enam ribu rupiah) diketahui RT, RW dan Lurah setempat.
- Surat keterangan untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu Model N1, N2, N4, baik calon Suami maupun calon Istri.
- Pas photo Catin ukuran 2x3 masing-masing 5 (lima) lembar, bagi anggota ABRI berpakaian dinas.
- Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat Talak/Akta Cerai dari Pengadilan Agama, jika Duda/Janda mati harus ada surat kematian dan surat Model N6 dari Lurah setempat.
- Nah untuk poin ini Calon Pengantin harus memiliki surat izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi Catin Laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun dan Catin Perempuan yang umurnya kurang dari 16 tahun,, Sama bagi Catin Laki-laki yang mau berpoligami, juga harus ada surat izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama. Emm ada lagi catatan nih bagi Catin yang umurnya kurang dari 21 tahun harus melampirkan surat izin orang tua (model N5) ini berlaku bagi Catin laki-laki/perempuan.
- Bagi Catin yang tempat tinggalnya bukan di wilayah Kec. Gedebage, harus ada surat seperti : Rekomendasi Nikah dari KUA setempat.
- Bagi Catin yang akan melangsungkan pernikahan ke luar wilayah Kec. Gedebageharus ada Surat seperti : Rekomendasi Nikah dari KUA Gedebage.
- Bagi anggota TNI/POLRI dan Sipil TNI/POLRI harus ada Izin Kawin dari Pejabat Atasan/Komandan
- Kedua Catin mendaftarkan diri ke KUA Gedebage sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja dari waktu melangsungkan Pernikahan. Apabila kurang dari 10 (sepuluh) hari jam kerja, harus melampirkan surat Dispensasi Nikah dari Camat kota atau kabupaten sesuai tempat tinggal “CATIN”
- Bagi WNI keturunan, selain syarat-syarat tersebut dalam poin 1 s/d 10 harus melampirkan foto copy Akte kelahiran dan status kewarganegaraannya (K1).
- Surat Keterangan tidak mampu dari Lurah/Kepala Desa bagi mereka yang tidak mampu.
II. Untuk Perkawinan Campuran persyaratannya seperti ini
- Akte Kelahiran/Kenal Lahir
- Surat tanda melapor diri (STMD) dari kepolisian
- Surat Keterangan Model K II dari Dinas Kependudukan (bagi yang menetap lebih dari satu tahun)
- Tanda lunas pajak bangsa asing (bagi yang menetap lebih dari satu tahun)
- Keterangan izin masuk sementara (KIMS) dari Kantor Imigrasi
- Foto Copy PasPort
- Surat Keterangan dari Kedutaan/perwakilan Diplomatik yang bersangkutan.
- Semua surat-surat yang berbahasa asing harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penterjemah resmi.
Pemeriksaan Nikah
Jangan heran iaa kalau ada PPN yang menerima pemberitahuan kehendak nikah meneliti dan memeriksa berkas –berkas terlebih dahulu,, ini untuk mengecek kelengkapan Catin apakah sudah memenuhi syarat atau belum, apabila masih ada persyaratan yang kurang, PPN pasti memberi tahu apa z yang kurang jadi,, jangan takut pasti diberitahukan apa saja kekurangannya. Nah setelah itu dilakukan pemeriksaan terhadap calon suami, calon istri dan wali nikahnya yang dituangkan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah (Model NB).
Jika calon suami/istri atau wali nikah bertempat tinggal di luar wilayah KUA Kecamatan dan tidak dapat hadir untuk diperiksa, maka pemeriksaannya dilakukan oleh PPN yang mewilayahi tempat tinggalnya.
Apabila setelah diadakan pemeriksaan nikah ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku maka PPN berhak menolak pelaksanaan pernikahan dengan cara memberikan surat penolakan beserta alasannya. Setelah pemeriksaan dinyatakan memenuhi syarat maka calon suami, calon istri dan wali nikahnya menandatangani Daftar Pemeriksaan Nikah. Setelah itu yang bersangkutan membayar biaya administrasi pencatatan nikah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pengumuman Kehendak Nikah
Jangan heran iaa kalau ada PPN yang menerima pemberitahuan kehendak nikah meneliti dan memeriksa berkas –berkas terlebih dahulu,, ini untuk mengecek kelengkapan Catin apakah sudah memenuhi syarat atau belum, apabila masih ada persyaratan yang kurang, PPN pasti memberi tahu apa z yang kurang jadi,, jangan takut pasti diberitahukan apa saja kekurangannya. Nah setelah itu dilakukan pemeriksaan terhadap calon suami, calon istri dan wali nikahnya yang dituangkan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah (Model NB).
Jika calon suami/istri atau wali nikah bertempat tinggal di luar wilayah KUA Kecamatan dan tidak dapat hadir untuk diperiksa, maka pemeriksaannya dilakukan oleh PPN yang mewilayahi tempat tinggalnya.
Apabila setelah diadakan pemeriksaan nikah ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku maka PPN berhak menolak pelaksanaan pernikahan dengan cara memberikan surat penolakan beserta alasannya. Setelah pemeriksaan dinyatakan memenuhi syarat maka calon suami, calon istri dan wali nikahnya menandatangani Daftar Pemeriksaan Nikah. Setelah itu yang bersangkutan membayar biaya administrasi pencatatan nikah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pengumuman Kehendak Nikah
Setelah persyaratan dipenuhi PPN mengumumkan kehendak nikah (model NC) pada papan pengumuman di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan dilangsungkan dan KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing calon mempelai.
PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum lampau 10 hari kerja sejak pengumuman, kecuali seperti yang diatur dalam psl 3 ayat 3 PP No. 9 Tahun 1975 yaitu apabila terdapat alasan yang sangat penting misalnya salah seorang calon mempelai akan segera bertugas keluar negeri, maka dimungkinkan yang bersangkutan memohon dispensasi kepada Camat selanjutnya Camat atas nama Walikota/Bupati memberikan dispensasi.
Pelaksanaan Akad Nikah
PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum lampau 10 hari kerja sejak pengumuman, kecuali seperti yang diatur dalam psl 3 ayat 3 PP No. 9 Tahun 1975 yaitu apabila terdapat alasan yang sangat penting misalnya salah seorang calon mempelai akan segera bertugas keluar negeri, maka dimungkinkan yang bersangkutan memohon dispensasi kepada Camat selanjutnya Camat atas nama Walikota/Bupati memberikan dispensasi.
Pelaksanaan Akad Nikah
Untuk Pelaksanaan Upacara Akad Nikah bisa dilaksanakan :
- di Balai Nikah/Kantor
- di Luar Balai Nikah : rumah calon mempelai, masjid atau gedung dll.
Jangan Heran Sebelum Akad Nikah Ada Pemeriksaan Ulang Seperti:
Sebelum pelaksanaan upacara akad nikah PPN /Penghulu terlebih dahulu mengecek ulang persyaratan nikah dan administrasinya kepada kedua calon pengantin dan walinya, iaa ini untuk melengkapi kolom yang belum terisi pada waktu pemeriksaan awal di kantor atau ada perubahan data dari hasil pemeriksaan awal. Setelah itu PPN/ Penghulu menetapkan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
Untuk Pemberian Izin Juga Ada Tahapnya loh Seperti…
Sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan dianjurkan bagi ayah untuk meminta izin kepada anaknya yang masih gadis atau anak terlebih dahulu minta/memberikan izin kepada ayah atau wali, dan keharusan bagi ayah meminta izin kepada anaknya untuk menikahkan bila anak berstatus janda.
Untuk Akad Nikah /Ijab Qobul seperti ini loh garis besarnya..
Sebelum pelaksanaan ijab qobul sebagaimana lazimnya upacara akad nikah bisa didahului dengan pembacaan khutbah nikah, pembacaan istighfar dan dua kalimat syahadat.
Pelaksanaan ijab qobul dilaksanakan sendiri oleh wali nikahnya terhadap calon mempelai pria, namun apabila karena sesuatu hal yang dapat menghalangi (cacat atau mengalami kecelakaan, dll) wali nikah/calon mempelai pria dapat mewakilkan kepada orang lain yang ditunjuk olehnya.
Untuk penandatanganan Akta Nikah oleh kedua mempelai, yang di saksikan oleh wali nikah, dua orang saksi dan PPN yang menghadiri akad nikah.
Seorang suami sedia membacakan Ta’lik Talak dan mendatangani ikrar Ta’lik Talak, setelah itu penyerahan maskawin/mahar.. dah itu PPN menyerahkan Buku Nikah/Kutipan Akta Nikah dengan di barengi dengan Nasehat perkawinan dan diakhiri dengan Do’a penutup.
Sebelum pelaksanaan upacara akad nikah PPN /Penghulu terlebih dahulu mengecek ulang persyaratan nikah dan administrasinya kepada kedua calon pengantin dan walinya, iaa ini untuk melengkapi kolom yang belum terisi pada waktu pemeriksaan awal di kantor atau ada perubahan data dari hasil pemeriksaan awal. Setelah itu PPN/ Penghulu menetapkan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
Untuk Pemberian Izin Juga Ada Tahapnya loh Seperti…
Sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan dianjurkan bagi ayah untuk meminta izin kepada anaknya yang masih gadis atau anak terlebih dahulu minta/memberikan izin kepada ayah atau wali, dan keharusan bagi ayah meminta izin kepada anaknya untuk menikahkan bila anak berstatus janda.
Untuk Akad Nikah /Ijab Qobul seperti ini loh garis besarnya..
Sebelum pelaksanaan ijab qobul sebagaimana lazimnya upacara akad nikah bisa didahului dengan pembacaan khutbah nikah, pembacaan istighfar dan dua kalimat syahadat.
Pelaksanaan ijab qobul dilaksanakan sendiri oleh wali nikahnya terhadap calon mempelai pria, namun apabila karena sesuatu hal yang dapat menghalangi (cacat atau mengalami kecelakaan, dll) wali nikah/calon mempelai pria dapat mewakilkan kepada orang lain yang ditunjuk olehnya.
Untuk penandatanganan Akta Nikah oleh kedua mempelai, yang di saksikan oleh wali nikah, dua orang saksi dan PPN yang menghadiri akad nikah.
Seorang suami sedia membacakan Ta’lik Talak dan mendatangani ikrar Ta’lik Talak, setelah itu penyerahan maskawin/mahar.. dah itu PPN menyerahkan Buku Nikah/Kutipan Akta Nikah dengan di barengi dengan Nasehat perkawinan dan diakhiri dengan Do’a penutup.
KONSEP KELUARGA BAHAGIA
Prolog
Hukum keluarga dalam masyarakat muslim kontemporer, baik di Negara-negara muslim maupun negeri-negeri yang penduduknya beragama Islam, sangat menarik untuk dikaji sebab, di dalam hukum keluarga Islam terdapat jiwa wahyu Ilahi dan sunnah Rasulullah atau dalam qanun (perundang-undangan)-nya senantiasa dilandaskan pada firman Allah SWT. (Al-Qur’an) dan sabda Rasulullah (Hadits).
Keluarga sakinah merupakan dambaan sekaligus harapan bahkan tujuan insan, baik yang akan ataupun yang tengah membangun rumah tangga. Sehingga tidaklah mengherankan, jika di kota-kota besar pada sekarang ini membincangkan konsep keluarga sakinah merupakan kajian yang menarik dan banyak diminati oleh masyarakat. Sehingga penyajiannya pun beragam bentuk; mulai dari sebuah diskusi kecil, seminar, lokakarya hingga privat dan mungkin dalam bentuk kursus seperti yang sedang kita jalani sekarang ini.
Terlepas apakah masalah keluarga sakinah ini menarik atau tidak menarik untuk dikaji, namun yang pasti membentuk keluarga sakinah sangat penting dan bahkan merupakan tujuan yang dicapai bagi setiap orang yang akan membina rumah tangga, sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Ar-Rum ayat 21 :
Islam menginginkan pasangan suami isteri yang telah atau akan membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan diantara suami isteri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya. Ada tiga kunci yang disampaikan Allah SWT. dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam, yaitu : 1) Sakinah (as-sakinah), 2) Mawadah (al-mawaddah), dan 3) Rahmah (ar-rahmah).
Secara harfiyah (etimologi) sakinah diartikan ketenangan, ketentraman dan kedamaian jiwa. Kata ini dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak enam kali dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan bahwa sakinah itu didatangkan Allah SWT. ke dalam hati para nabi dan orang-orang yang beriman. Ali bin Muhammad Al-Jurjani (ahli pembuat kamus ilmiah) mendefinisikan sakinah adalah adanya ketentraman dalam hati pada saat datangnya sesuatu yang tidak terduga, dibarengi satu nur (cahaya) dalam hati yang memberi ketenangan dan ketentraman. Adapun menurut Muhammad Rasyid Ridha bahwa sakinah adalah sikap jiwa yang timbul dari suasana ketenangan dan merupakan lawan dari kegoncangan bathin dan ketakutan.
Ulama tafsir menyatakan bahwa sakinah dalam ayat tersebut adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga dimana masing-masing pihak (suami-isteri) menjalankan perintah Allah SWT. dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawaddah), sehingga rasa bertanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi.
Sehingga ungkapan Rasulullah SAW. “Baitii jannatii”, rumahku adalah surgaku, merupakan ungkapan tepat tentang bangunan rumah tangga/ keluarga ideal. Dimana dalam pembangunannya mesti dilandasi fondasi kokoh berupa Iman, kelengkapan bangunan dengan Islam, dan pengisian ruang kehidupannya dengan Ihsan, tanpa mengurangi kehirauan kepada tuntutan kebutuhan hidup sebagaimana layaknya manusia tak lepas dari hajat keduniaan, baik yang bersifat kebendaan maupun bukan.
keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah, merupakan suatu keluarga dambaan bahkan merupakan tujuan dalam suatu perkawinan dan sakinah itu didatangkan Allah SWT. ke dalam hati para nabi dan orang-orang yang beriman, maka untuk mewujudkan keluarga sakinah harus melalui usaha maksimal baik melalui usaha bathiniah (memohon kepada Allah SWT.), maupun berusaha secara lahiriah (berusaha untuk memenuhi ketentuan baik yang datangnya dari Allah SWT. dan Rasul-Nya, maupun peraturan yang dibuat oleh para pemimpin dalam hal ini pemerintah berupa peraturan dan perundang-undangan yang berlaku).
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dengan pembinaan keluarga sakinah di Indonesia yang kini telah menjadi hukum positif adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan UU Perkawinan, diantaranya : Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Selanyang Pandang Tentang Pembentukan Hukum Islam Di Bidang Hukum Keluarga di Indonesia
Sesuai dengan hakikat dakwah islamiah, nilai-nilai Islam itu diresapi dengan penuh kedamaian tanpa menghilangkan nilai-nilai adat setempat yang telah sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai akidah dan syari’at Islam. Pertemuan kedua sistem nilai itu (adat dan Islam) berlaku dengan wajar tanpa adanya konflik antara kedua sistem nilai tersebut. Hukum syari’at Islam sempurna, berlaku untuk semua tempat dan segala zaman akan tetapi, fikih ddapatberbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya dan dapat pula berbeda dalam perjalanan masa.
Agama Islam sangat mementingkan pembinaan pribadi dan keluarga. Akhlak yang baik (pada pribadi-pribadi dan keluarga) akan menciptakan masyarakat yang baik dan harmonis Karena itu, hukum keluarga menempati posisi penting dalam hukum Islam. Hukum keluarga dirasakan sangat erat kaitannya dengan keimanan seseorang.
Terbentuknya hukum Islam dibidang hukum keluarga tidak terlepas dari adanya tarik menarik antara hukum barat dan hukum adat. Adanya tarik menarik antara tiga sistem hukum; Hukum Islam, Hukum Sipil (Barat) dan Hukum Adat tidak dapat dipungkiri karena masing-masing sistem hukum berusaha untuk menjadi dominan di bumi pertiwi ini.
Dalam negara yang telah merdeka, negara modern dengan warga negara yang pluralistik juga dalam agama tarik menarik tiga sistem hukum diatas perlu dicari penyelesaiannya. Hukum sipil yang berasal dari Barat tidak mudah begitu saja diapuskan, hukum adat pun yang telah hidup sejalan dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia pun tidak begitu saja dihapuskan dan hukum Islam yang merupakan rahmatan lil alamin tidak begitu saja dapat dikesampingkan karena ajarannya telah lama dan mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Maka penyamaan bahasa hukum dari ketiga sistem tersebut merupakan solusinya.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara No.1 Tahun 1974 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019 Tahun 1974) tentang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 yang terdiri dari 14 Bab, 67 pasal, peraturan pelaksanaannya terdiri dari 10 Bab, 49 pasal, merupakan puncak kompromi antara tiga sistem hukum yang saling tarik-menarik di Indonesia. Undang-undang tersebut berlaku bagi semua warga negara Republik Indonesia.
Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH. bahwa Undang-Undang Perkawinan yang mulai berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975 mempunyai 3 (tiga) ciri khas kalau dibandingkan dengan Undang-Undang atau hukum perkawinan sebelumnya, yaitu :
1. Asasnya Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 asasnya dalah Agama. Agamalah atau hukum agama yang dipeluk oleh seseorang yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Pasal 2 ayat (1) : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
2. Tujuannya Sesuai dengan pasal 1 bahwa “Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Membentuk keluarga bahagia itu, dalam penjelasannya berkaitan erat dengan keturunan, pemeliharaan dan pendidikan (keturunan) yang menjadi hak dan kewaiban (kedua) orang tua.
3. Sifatnya Mengangkat harkat dan derajat (kedudukan) kaum wanita yakni para isteri dengan adanya ungkapan jelas dalam Undang-Undang tersebut
bahwa hak dan kedudukan suami adalah seimbang dengan hak dan kedudukan isteri dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Setelahnya lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tenang Perkawinan yang disusul 1 tahun kemudian dengan Peraturan Pelaksanaan-nya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang langsung atau tidak langsung telah merubah wajak hukum perkawinan Indonesia yang beragam menjadi sebuah hukum perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga Indonesia dan memiliki kekentalan ajaran Islam dalam kata lain UU No.1 Tahun 1974 merupakan salah satu syari’at Islam yang telah berhasil menjadi sebuah qanun.
Namun hal tersebut tidaklah cukup untuk “menghidupkan” hukum Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. Bustanul Arifin, SH., bahwa syarat lain untuk menghidupkan hukum Islam adalah perlu adanya suatu kekuasaan kehakiman (judiciary) yang terpadu. Dimana realitanya sejak dulu, selalulah hukum sipil dilaksanakan oleh suatu kekuasaan kehakiman yang baik, sedangkan peradilan-peradilan agama (mahkamah syar’ah) berjalan sendiri, terisolasi, dan selalu terbelakang. Hal demikian jelas merugikan perkembangan hukum Islam, karena akan selalu dirasakan hukum Islam itu sebagai sesuatu yang “terpencil” (terisolasi) dan asing.
Meskipun UUD 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia menamakan keseluruhan peradilan di Indonesia dengan istilah Kekuasaan Kehakiman, yakni bab IX pasal 24 dan 25 dan pada tahun 1970 melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 secara eksplisit menentukan bahwa ada empat lingkungan perdialan, yaitu : 1) Peradilan Umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, dan 4) Peradilan Tata Usaha Negara. Dimana keempat lingkungan peradilan itu berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi di Indonesia namun kewenangan Peradilan Agama dalam pelaksanaannya masih absurd (tidak jelas). Bahkan kalaulah mengikuti perjalanan sejarahnya, kewenangan (yu ridiksi) Peradilan Agama di Indonesia mengalami pasang surut.
Akhirnya pada hari Kamis tanggal 14 Desember 1989, Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama, telah disetujui oleh DPR-RI menjadi Undang-Undang Republik Indonesia tentang Peradilan Agama. Peristiwa tersebut penting, bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum nasional tetapi juga bagi umat Islam di Indonesia karena dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 oleh Presiden Republik Indonesia dan dicantumkan dalam Lembaran Negara oleh Menteri Sekretaris Negara, maka semakin mantaplah kedudukan peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di Indonesia dalam menegakkan hukum berdasarkan hukum Islam bagi pencari keadilan yang beragama Islam khususnya mengenai perkara-perkara perdata Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang terdiri dari 7 Bab, 108 pasal, maka materi hukum Islam yang termuat dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan akan dapat ditegakkan, karena didalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 selain memuat tentang kekuasaan dan kewenangan Peradilan Agama juga memuat hukum acaranya.
Dengan telah memiliki aturan yang jelas, kemantapan lembaga peradilan bukan berarti “penegakkan” hukum Islam sudah cukup dan selesai, karena dengan masih beragamnya sumber materi hukum Islam yang dijadikan dasar oleh para hakim dalam memutuskan perkara, maka negakibatkan tidak seragamnya aturan hukum tersebut. Adanya kondisi demikian, muncullah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama Republik Indonesia dan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 21 Pebruari 1985 yang pada pokonya ialah diperlukannya suatu kompilasi hukum Islam yang dalam bahasa Melayu disebut Peng-qanun-an Hukum Syara yang akan menjadi pegangan bagi para hakim Peradilan Agama dan masyarakat. Perwujudan dari SKB tersebut adalah dengan dibentuknya sebuah Proyek Kompilasi Hukum Islam yang pelaksanaannya dipercayakan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Departemen Agama Republik Indonesia.
Proyek Kompilasi Hukum Islam akhirnya melahirkan Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hasil musyawarah para ulama dan ahli hukum Islam Indonesia yang diberlakukan secara resmi melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Secara umum Kompilasi Hukum Islam berisikan : Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tetang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan, shadaqah, hibah, hadanah.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan pengembangan dari Hukum Perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, karena itu KHI tidak terlepas dari misi yang diemban oleh Undang-Undang Perkawinan kendatipun cakupanya hanya terbatas bagi kepentingan ummat Islam.
Eksistensi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Dalam Pembentukan Keluarga Sakinah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan unifikasi hukum di Indonesia tentang Perkawinan yang didalamnya memuat 67 pasal, secara rinci sebagai berikut : Dasar Perkawinan, Syarat-syarat Perkawinan, Pencegahan Perkawinan, Batalnya Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Harta Benda dalam Perkawinan, Putusanya Perkawinan serta Akibatnya, Kedudukan Anak, Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak, Perwalian, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup.
Dengan pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan ini jelas-jelas diperuntukan bagi para warga negara Indonesia untuk menjadi keluarga tentram dan bahagia --- juga bertujuan untuk merubah tatanan aturan yang telah ada dengan aturan baru yang menjamin cita-cita luhur dari perkawinan melalui enam azas/prinsip yang dominan, yaitu :
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut azas monogamy (mempersempit poligami), yaitu pria hanya mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang suami. Namun demikian hanya apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan Pengadilan, seorang pria dimungkinkan beristeri lebih dari seorang apabila ajaran agama yang dianutnya mengizinkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil diterbitkan dan disebarkan di tengah-tengah masyarakat ditujukan agar setiap Pegawai Negeri Sipil menyadari apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam kedudukannya sebagai Abdi Negara dan Abdi Maysrakat.
Pegawai Negeri Sipil, karena kedudukannya harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam bertingkah laku. Diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tersebut antara lain dimaksudkan untuk
menciptakan kehidupan kekeluargaan pada Pegawai Negeri Sipil yang tenteram dan serasi, sehingga dengan demikian peran aktif dan dharma bhaktinya tidak banyak diganggu oleh masalah-masalah kekeluargaan.
Adanya Peraturan Pemerintah ini sebenarnya merupakan pengejawantahan atas azas-azas yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai sosio-yuridis control terhadap Pegawai Negeri Sipil yang merupakan Abdi Negara dan Abdi Masyarakat, juga sebagai perlindungan hak dan kewajiban bagi para Pegawai Negeri Sipil sendiri.
Adanya aturan tersebut bukan untuk mempersulit kehendak seorang Pegawai Negeri Sipil untuk melakukan perkawinan, perceraian, ataupun polygami tetapi justeru sebagai aturan yang dapat memberikan rasa keadilan dan kemaslahatan.
Epilog
Berdasarkan uraian tersebut diatas nampak bahwa kontribusi yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 terhadap pembentukan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah adalah terletak pada fungsi dari hukum itu sendiri, baik secara sempit maupun secara luas --- yaitu fungsi hukum sebagai kepastian hukum, pengatur tata laku masyarakat, pemberian rasa aman, pengayoman, keadilan dan pembentuk suatu tatanan masyarakat. Lebih tinggi lagi adalah sebagai social of engineering.
Sebagaimana telah diungkapkan pada prolog diatas, bahwa sebenarnya untuk membentuk keluarga sakinah harus melalui sebuah proses/usaha dua dimensi :
Adapun eksistensi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil dalam pembentukan dan pembinaan keluarga sakinah berada pada koridor aturan atau hukum yang memberikan petunjuk, arahan sekaligus batasan yang selain bersifat normatif juga bersifat aplikatif --- terlebih peraturan/hukum tentang perkawinan bagi umat Islam di Indonesia untuk saat ini telah memenuhi kebutuhan hukum dari sisi hukum/materi hukum --- secara hierarki telah ada dan tidak bertentangan antara aturan yang dibawah dengan diatasnya. Kongkretnya sebagai berikut :
-tugas agama sma-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar